Mensyukuri yang Sedikit

Mensyukuri yang Sedikit

Orang yang tidak pernah memuji Allah atas nikmat air dingin yang bersih dan
segar, ia akan lupa kepada-Nya jika mendapatkan istana yang indah, kendaraan yang mewah,
dan kebun-kebun yang penuh buah-buahan yang ranum.
Orang yang tidak pernah bersyukur atas sepotong roti yang hangat, tidak akan pernah bisa
mensyukuri hidangan yang lezat dan menu yang nikmat. Orang yang tidak pernah bersyukur
dan bahkan kufur tidak akan pernah bisa membedakan antara yang sedikit dan yang banyak.
Tapi ironisnya, tak jarang orang-orang seperti itu yang pernah berjanji kepada Allah bahwa
ketika nanti Allah menurunkan nikmat kepadanya dan menyirami mereka dengan nikmatnikmat-
Nya maka mereka akan bersyukur, memberi dan bersedekah.


Dan, di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, “Sesungguhnya jika Allah
memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan
pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.” Maka setelah Allah memberikan kepada
mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan
mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). (QS At-Taubah: 75-
76)
Setiap hari kita banyak melihat manusia model ini. Hatinya hampa, pikirannya kotor,
perasaannya kosong, tuduhannya kepada Rabbnya selalu yang tidak senonoh, yang tidak
pernah memberi karunia yang besarlah, tidak pernah memberinya rezkilah, dan yang lainnya.
Dia mengucapkan itu ketika badannya sangat sehat dan serba kecukupan. Dalam kemudahan
yang baru seperti itu saja, dia sudah tidak bersyukur. Lalu bagaimana jika harta yang
melimpah, rumah yang indah, dan istana yang megah telah menyita waktunya? Yang pasti dia
akan lebih kurang ajar dan akan lebih banyak durhaka kepada Rabbnya.
Orang yang bertelanjang kaki, karena tidak punya alas kaki mengatakan, “Saya akan
bersyukur jika Rabbku memberiku sepatu.” Tapi orang yang telah memiliki sepatu akan
menangguhkan syukurnya sampai dia mendapatkan mobil mewah.
Kurang ajar sekali. Kita mengambil kenikmatan itu dengan kontan, namun mensyukurinya
dengan mencicil. Kita tak pernah bosan mengajukan keinginan-keinginan kita, tapi perintahperintah
Allah yang ada di sekeliling kita lamban sekali dilaksanakan.
***
Sumber: Laa Tahzan (Jangan Bersedih!), karya Dr. Aidh Al-Qarni, terbitan Qisthy Press.

Leave a comment

No comments yet.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Leave a comment